Mendengar kata perang membuat buluku merinding. Ya, perang atau saling membunuh antar manusia, pertumpahan darah dimana-mana. Akankah kita masih ingin menyuarakan perang kalau kita tahu dampak dari perang itu sendiri?
Keinginan kuat untuk berperang atas nama harga diri dan kehormatan bangsa bukan dilandasi atas kesadaran serta akal sehat. Apalagi pihak yang ingin diperangi adalah negara yang mayoritas warga muslim dimana dalam Islam sesama muslim adalah saudara sendiri.
Provokasi seperti ini untungnya masih ditanggapai dingin oleh mayoritas anak bangsa, terkhusus para pemimpin kita, sehingga tidak larut dalam emosi. Beruntung karena masih banyak yang cinta damai.
Lantas, bagaimana solusi atas hubungan kedua negara ini (RI-Malaysia)? Hubungan yang sudah terjalin sekian lama dan dengan berbagai persoalan sudah dilalui. Terkadang mesra dan dilain waktu kedua pihak saling ngambek.
Setelah sekian lama melalui gelombang pasang surut ini, hubungan kedua negara bukankah justru semakin harmonis dan lebih saling memahami. Memang terkadang ada pihak yang merasa disakiti atau dikhianati tetapi bukan lantas itu membuat keduanya jadi mata gelap dengan mengorbankan hubungan yang sudah lama terjalin.
Perang tidak hanya mengoyak-ngoyak wilayah tetapi juga menyisakan berbagai persoalan kemanusiaan yang begitu tragis. Terpisahnya orang tua dengan anak-anaknya, suami dengan istrinya, dendam yang tidak berkesudahan. Masihkah kita mau berperang jika cuma itu tujuannya?
Sekali lagi, jalur diplomasi adalah solusi yang paling elegan. Tidak ada satu persoalan pun yang tak terselesaikan sepanjang kedua pihak mau duduk bersama. Terkadang memang diplomasi harus tegas tapi bukan berarti mengajak perang. Lihat saja bagaimana sepak terjang Bapak Jusuf Kalla ketika masih menjadi Wakil Presiden, sebagaimana diceritakan di Kompasiana, Diplomasi Ala Bugis.
Perang bagi kedua negara (RI-Malaysia) hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sekali mesin perang jalan maka rakyat kedua negara yang menjadi korban.