Mental Korup Aparatur Negara

Potret hukum kita tercoreng dengan tingkah laku aparat penegak hukum yang memalukan. Terbayang kira-kira mau jadi apa bangsa ini dengan mental aparat yang bobrok. Mempermainkan hukum sepertinya sudah menjadi hal lumrah. Hukum hanya berpihak pada kalangan berpunya (the haves).

Dari rekaman hasil sadapan KPK terungkap mafia hukum sudah demikian mengakar. Ibarat penyakit kanker tak mempan lagi jika hanya melalui obat resep. Jalan satu-satunya adalah melalui “amputasi” sebelum menjalar kemana-mana.

Ketua MK Mahfud, MD dalam wawancara TV One, tidak mempersoalkan upaya Anggodo Wijaya cs melobi kiri kanan atas kasusnya. Yang jadi persoalan menurutnya terletak pada mental korup para penegak hukum sehingga demikian mudahnya “dibeli” oleh para makelar kasus.

Inilah yang harus dibersihkan hingga ke akar-akarnya. Presiden SBY seharusnya bertindak tegas dengan mengganti para pucuk pimpinan yang tidak becus mengawal jalannya refomasi penegakan hukum.
Reformasi birokrasi khususnya dilembaga kepolisian dan kejaksaan adalah agenda penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Itu jika kita ingin melihat supremasi hukum ditegakkan. Citra pemerintahan SBY-Boediono dalam penegakan hukum belum menggembirakan. Bahkan kalau mau jujur, hampir semua departemen mempunyai penyakit yang sama, korupsi. Bukan hanya dipusat tapi menjalar sampai ketingkat provinsi dan kabupaten.

Penyebabnya karena fungsi pengawasan internal tidak berjalan maksimal. Untuk itu pengawasan external serta ditunjang peraturan perundang-undangan yang jelas sangat dibutuhkan. Dengan sendirinya menciptakan sebuah pemerintahan yang betul-betul bebas dari korupsi dan berpihak pada rakyat.

Saat ini lembaga pengawas aparatur negara (Komnas Waspan) yang diberikan wewenang dalam menjalankan fungsi pengawasan dan tetap berkoordinasi dengan lembaga atau komisi lainnya misalkan KPK, Komnas HAM, KPA dan lain-lain. Masyarakat berharap dengan keberadaan komisi ini bisa mengerem prilaku korup dalam diri aparatur negara.

Peran Media Dibalik Kasus Penahanan Bibit-Chandra

Mencuatnya isu kriminalisasi lembaga KPK melalui berbagai media menunjukkan betapa peran media sangat vital.

Penggalangan opini atau lebih tepat kalau dikatakan menggiring pemahaman publik untuk menyudutkan pihak-pihak tertentu dan sebaliknya memposisikan pihak lainnya sebagai “hero”

Kasus dua lembaga tinggi negara ini menjadi menarik untuk dicermati. Peran keduanya menjadi sangat menentukan masa depan bangsa ini. Masyarakat pun tentunya berhak tahu ada apa sebenarnya yang terjadi.

Argumen masing-masing pihak sudah benar adanya. Namun sebagai negara hukum tentunya semua harus dikembalikan pada aturan-aturan. Mari kita lihat episode selanjutnya. Dan apapun hasilnya tentunya semua pihak harus menghormatinya.

Bapak Pembangunan Sulsel Ditangkap KPK

transit

Kasus korupsi yang menimpa para politisi Senayan yang sebahagian berasal dari Sulsel pertanda apa?

Harian Kompas malah mengangkat tema yang rada-rada menakutkan, Korupsi Telah Membahayakan Demokrasi! Apakah memang sudah seperti itu penyakit korupsi di lembaga terhormat tersebut? Silahkan Anda sendiri yang menjawabnya.

Masih dalam koran yang sama,
reaksi dari para pendukung Abdul Hadi Djamal
dengan menggelar doa bersama sebagai rasa simpati bagi Abdul Hadi yang telah resmi jadi tersangka.

Mereka juga memprotes pemecatan Abdul Hadi, membakar foto Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir dan menyerukan para pendukungnya untuk golput.

Padahal boleh dikata Abdul Hadi Djamal cs lah yang selama ini getol memperjuangkan dana-dana pembangunan dari pusat sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat Sulsel.

Dari materi-materi kampanye yang disebarluaskan, digambarkan beberapa keberhasilan dari mega proyek yang kesemuanya adalah hasil kerja serta lobi-lobi para politisi asal Sulsel di Senayan. Makanya kita tentu tidak heran jika reaksi keras dari masyarakat Sulsel dalam menyikapi kasus ini. Bahkan sebagian mungkin menganggap beliau adalah Bapak Pembangunan Sulsel. Baca juga komentar Gubernur Syahrul Yasin Limpodi sini,yang menganggap sosok Hadi Djamal telah banyak membantu pembangunan di Sulsel.

Lantas bagaimana jika kasus yang menimpa beliau dikaitkan dengan budaya siri atau malu yang dimiliki oleh orang Bugis Makassar? Mungkin perlu rekonstruksi ulang dari para budayawan Sulsel tentang makna hakiki dari budaya siri itu sendiri.

Kembali pada ancaman demokrasi, korupsi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dariI kehidupan kita sehari-hari. Korupsi sudah menjadi bahaya laten bagi bangsa ini.

Untuk kedepannya, pemimpin siapa pun yang terpilih, komitmen teguh terhadap bahaya laten korupsi tidak bisa ditawar-tawar lagi. Komitmen ini pun harus dibuktikan dengan tindakan nyata terhadap para koruptor tersebut. Kita tidak ingin lagi mendengar adanya istilah tebang pilih dalam setiap penanganan kasus korupsi di tanah air.

Inilah tantangan terberat bagi putra-putri terbaik Sulsel untuk tampil sebagai pemimpin nasional akan datang.

Bahaya Laten Korupsi

Indikasi adanya permainan uang dalam proses pemilihan Gubernur BI Miranda S Gultom tampaknya memasuki tahap menentukan. Dalam rapat terbuka DPR dengan KPK terungkap adanya aliran dana melalui traveler cek atau uang perjalanan yang beredar ke anggota Komisi IX DPR . Bahkan tak tanggung-tanggung jumlahnya miliaran rupiah. Indikasi semakin menguatkan asumsi masyarakat selama ini bahwa di lembaga terhormat tersebut memang masih menyimpan banyak kasus penyalahgunaan uang rakyat.
Memang sangat memilukan jika lembaga seperti DPR dimana yang duduk adalah wakil rakyat kita yang terhormat justru menjadi lahan korupsi. Sudah sepantasnya memang kita menyatakan perang terhadap korupsi. Karena penyakit tersebut memang sudah menggurita yang kalau diibaratkan sama dengan penyakit kanker ganas.
Kita tidak mau bangsa ini terpuruk hanya karena masalah korupsi yang tidak ada habis-habisnya. Harapan terbesar berada pada lembaga super body KPK. Sebagai benteng terakhir penegakan hukum yang belum terkontaminasi. Apresiasi tinggi kita patut berikan namun tentunya tetap harus kita kawal.
Gebrakan demi gebrakan yang telah dilakukan oleh KPK adalah bukti keseriusan dalam memberantas bahaya laten korupsi. Mudah-mudahan langkah ini bisa diikuti oleh seluruh lembaga penegakan hukum sehingga yang namanya korupsi tidak akan ada tempat lagi di tanah air tercinta ini.

KPK vs DPR

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membuat gebrakan, tak tanggung-tanggung dan membuat ciut nyali utamanya bagi mereka yang selama ini mempermain-mainkan uang rakyat. Membuat terobosan dalam hal ini berani masuk ke dalam lembaga perwakilan rakyat (DPR) yang selama ini bak menara gading, tempat para wakil rakyat yang terhormat berkumpul. Tentunya tekad KPK untuk masuk menggeledah ruangan-ruangan di DPR yang dianggap sebagai tempat melakukan transaksi-transaksi yang merugikan keuangan negara. Kasus anggota DPR suami pedangdut Kristina dari fraksi PPP, Al Amin Nasution seakan menjadi alasan pembenar bagi lembaga super body itu untuk tetap kukuh pada pendirian bahwa di gedung/ruangan tersebut masih tersimpan bukti-bukti kuat terjadinya korupsi.

Seperti kita telah duga sebelumnya, reaksi keras muncul dari internal DPR sendiri. Sebagaimana telah disampaikan oleh Ketua DPR Agung Laksono bahwa para anggota dewan tidak setuju/keberatan dengan tindakan KPK yang akan menggeledah ruangan. Sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan yang begitu luas, tentunya kita bisa maklum dengan penolakan tersebut. Kita tentu hanya bisa menduga-duga ada apa gerangan yang disembunyikan oleh para anggota dewan yang terhormat tersebut.

Sebagaimana prinsip hukum kita, asas praduga tak bersalah tetap kita kedepankan dalam polemik antara KPK dengan DPR. Hanya sebagai sebagai negara hukum tentu kita harus menempatkan hukum sebagai panglima. Tidak ada satupun orang atau atas nama lembaga di negara ini yang kebal terhadap hukum. Inilah prinsip utama yang harus kita pegang teguh. Jangan sampai jika rakyat kecil atau lemah yang berbuat salah hukum ditegakkan tetapi sebaliknya jika orang yang mempunyai akses terhadap kekuasaan, hukum menjadi tak bertaring lagi. 

Dalam hal kasus-kasus korupsi di tanah air, para koruptor kelas kakap jarang sekali bisa disentuh oleh hukum. Dan ini sudah lazim terjadi. Kasus-kasus tersebut di-petieskan. Apakah karena koruptor kelas kakap tersebut mempunyai akses dengan kekuasaan sehingga mendapatkan perlakuan berbeda dengan kasus-kasus lain yang menimpa rakyat kecil yang tak berdosa.

Jadi seadainya pihak DPR ingin memperlihatkan keseriusan dalam hal pemberantasan korupsi di tanah air tentunya mereka harus membuka pintu lebar-lebar terhadap KPK maupun lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu. Sehingga jelas menjadi cermin bagi masyarakat luas bahwa mereka mempunyai keseriusan dalam menuntaskan semua masalah korupsi. Tapi jika yang terjadi sebaliknya, menutup diri dan bahkan terkesan membela diri ini tentu menjadi indikasi bahwa lembaga tersebut kurang serius menangani kasus-kasus korupsi utamanya yang bersumber di Senayan.

Dan bagi KPK sendiri, tantangan dari DPR bukan berarti mengurangi semangat dari lembaga itu sendiri. Sebagai lembaga yang independen dan mempunyai kewenangan penuh maka hal tersebut bukan menjadi alasan untuk berhenti menuntaskan kasus-kasus korupsi. Bahkan inilah moment yang tepat untuk membuktikan bahwasannya lembaga tersebut tidak tebang pilih.