Caleg Stress Jelang Pemilihan

Stress

Tanda-tanda bakalan banyak orang yang stress pasca pileg mulai nampak. Mendekati hari H, hampir setiap hari ada-ada saja yang kelakuan “aneh” dari para caleg.

Kita tidak usah hitung mereka yang terkadang duduk termenung sambil menatap kosong entah memikirkan apa, sampai dengan bicara mencak-mencak tidak tahu mau marah sama siapa.

Tempat mereka melampiaskan kekesalan atau uneg-unegnya umumnya di warung-warung kopi. Otomatis para pemilik warkop harus extra hati-hati jika ingin melayani caleg seperti ini.

Inilah buah dari demokrasi yang kita bangun bersama. Dimana ruang untuk menyampaikan segala aspirasi terbuka begitu lebar. Namun nampaknya tingkat partisipasi politik masyarakat tidak dibarengi dengan sumber daya manusia yang memadai. Jadilah mereka seperti orang-orang kebingungan tanpa arah dan tujuan yang jelas dalam menyikapi demokratisasi yang sedang berlangsung sekarang

Namun bukan berarti kita harus mundur kebelakang lagi. Sebab dengan demokrasi yang sedang kita jalankan sekarang masih lebih baik dibandingkan dengan sistim otoriter.

Hanya saja kita sebagai elemen pendukung gerakan demokrasi harus tetap waspada dari upaya-upaya pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan kebangkitan demokrasi di tanah air.

Salah satunya adalah dengan tetap aktif mengawal serta memberi kontribusi kepada pemerintah sehingga demokrasi tetap berada pada jalur yang semestinya.

Kembali pada soal caleg yang stress, pemerintah selayaknya memberi perhatian serius. Indikasinya adalah begitu minimnya wawasan para caleg tersebut sehingga mereka berlomba-lomba masuk parlemen semata-mata untuk perbaikan perbaikan nasib doang. Sama halnya dalam pola rekrutmen dan penempatan person dalam jabatan-jabatan politis. Hal ini masih sangat kental nuansa euforia dari partai-partai.

Apapun konsekuensinya sepanjang tidak “membahayakan” demokrasi itu sendiri tidaklah menjadi soal. Justru dengan bunga-bunga demokrasi tersebut semakin menambah indah keberagaman bangsa kita tercinta, Indonesia.

Luar Biasa! DPRD Kabupaten Soppeng Memangkas Anggaran Miliaran Rupiah

Peran lembaga legislatif di era reformasi sangatlah penting. Sebagai mitra eksekutif dalam menjalankan roda pembangunan tentunya pengharapan yang tinggi dari masyarakat berada di tangan anggota dewan yang terhormat tersebut.

Hal ini dapat dilihat pada setiap rapat-rapat pembahasan APBD. Tarik menarik antara eksekutif dengan legislatif menunjukkan adanya dinamika positif didalamnya. Inilah hasil dari reformasi yang selama ini kita idam-idamkan.

Harian Fajar
pada halaman Bosowa (Bone, Soppeng, Wajo) mengangkat judul DPRD memangkas anggaran yang diusulkan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Soppeng

Sebagian anggaran mereka dinilai tidak rasional dan kegiatannya tidak jelas.

“Jumlahnya mencapai miliaran rupiah,” ungkap Ketua Komisi B DPRD Soppeng, Nur Naping dalam rapat paripurna lanjutan pembahasan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) 2009 di DPRD Soppeng, senin 16 Februari.

Apakah ini berarti anggota dewan Kabupaten Soppeng sudah bekerja dengan baik?



Selingkuh Eksekutif Legislatif Mencuri Uang Rakyat

Tarik ulur pembahasan APBD antara eksekutif dengan legislatif sarat dengan kepentingan politis dan opportunis. Hal ini semakin diperparah lagi dengan masa bakti para anggota dewan yang segera akan berakhir. Kondisi seperti ini membuka lebar peluang terjadinya praktek “jual beli anggaran” yang pada akhirnya mengorbankan kepentingan rakyat.

Penjarahan uang rakyat ini berlangsung secara meluas dan sistimatis. Tetapi karena modus operandinya sangat canggih maka sangat riskan bagi rakyat awam untuk mengetahuinya. Bahkan seringkali kita mendengar rapat pembahasan mengenai anggaran dilakukan di hotel mewah dan tertutup.

Gagasan untuk menghadirkan pihak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam setiap proses pembahasan anggaran di DPRD patut diacungi jempol. Namun sayang seribu sayang gaungnya tidak sampai ke daerah-daerah. Padahal dengan semangat otonomi distribusi anggaran dari pusat ke daerah tiap tahun bertambah jumlahnya. Inilah yang sangat rawan disalahgunakan jika tidak ada regulasi yang melindunginya.

Gerakan penyelamatan APBD sehingga lebih pro rakyat yang dimotori oleh LSM-LSM lokal (belum tercemar!) menunjukkan indikasi perselingkuhan antara eksekutif dengan legislatif di daerah berlangsung marak. Pola pengawasan yang sangat lemah ditambah lagi dengan sumber daya manusia yang tidak profesional membuat praktek ini berlangsung terus.

Mampukah kita menghentikan pencurian uang rakyat ini? Atau kita hanya bisa menonton mereka berpesta pora diatas penderitaan rakyat. Aukh ah gelap…