Rebutan Kursi Parlemen

Rebutan kursi bukan berarti rebutan kursi bagi anak-anak TK. Kalau sudah dapat satu kursi masih belum puas dan menangis meminta kursi temannya yang lain. Begitupun temannya, tidak mau mengalah dan tetap mempertahankan kursinya. Selang berikutnya nuasa persaingan kembali memudar. Kejar-kejaran, main petak umpet dan canda tawa muncul kembali. Begitulah dunia anak-anak, mereka menjalani proses kehidupan tanpa beban. Dunia yang begitu indah. 

Tapi rebutan kursi kursi yang satu ini lain lagi. Untuk satu kursi, tak peduli harta bahkan moralitas dipertaruhkan. Sikut sana sini, tendang kiri kanan menjadi halal. Tingkat kepuasannya tergantung sampai sejauh mana pihak lawan menderita sampai mampus. Makin menderita pihak lawan, semakin tinggi tingkat kepuasan pemenang. Menghalalkan segala cara menjadi hal yang lumrah.

Jelang pentas politik nasional, antusias masyarakat juga semakin tinggi. Untuk tes awal barangkalai perebutan kursi parlemen merupakan ajang tontonan menarik lainnya. Layaknya anak-anak TK berebut tempat duduk atau coklat favorintnya. Animo yang begitu tinggi dan menggebu-gebu berbanding terbalik dengan ketersediaan kursi. Dengan kata lain semakin banyak yang mau duduk tapi tempat duduknya terbatas.

Adakah ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita semakin melek politik ? Atau justru sebaliknya, asal main seruduk saja karena alasan perut (ekonomi) ! Memang tidak mudah untuk menjelaskannya. Era keterbukaan serta akses publik yang terbuka lebar tetapi tidak diimbangi dengan tingkat kesejahteraan yang memadai menjadi lahan empuk bagi para politikus untuk mengeruk keuntungan pribadinya.

Masyarakat hanya menjadi kelinci percobaan, apa yang dipertontonkan hanya menjadi candu bagi mereka. Bukan merupakan solusi dari permasalahan yang selama ini melilit mereka. Kepuasan semu yang dampaknya bisa berakibat buruk. Salah satu indikasinya adalah tingkat apatisme masyarakat yang meningkat. Mereka tidak mau ambil pusing dengan permasalahan sekitarnya. Emang Gue Pikirin dengan semua yang terjadi, toh tidak akan berpengaruh pada diri mereka.

Bagi mereka yang jeli menyikapi fenomena demam caleg ini. Ada unsur bisnis besar dibaliknya. Terutama sekali dalam hal operasionaldan pengadaan logistik masing-masing kandidat. Bisa dibayangkan betapa besar alokasi dana yang berputar menyambut hajatan demokrasi lima tahunan tersebut. Namun sayangnya peluang ini justru lebih banyak diambil dari kalangan Tionghoa. Stiker, pamflet, spanduk, baliho, baju kaos bertebaran dimana-mana. Bahkan kendaraan milik sang kandidat pun dipermak dengan berbagai macam aksesoris yang menarik.

Lantas kenapa kita tidak mampu menangkap peluang tersebut ? Apakah karena watak atau mental kita yang memang masih seperti anak TK ? Wallahu alam bissawab.