Peran Kesultanan Dalam Pengolahan Lingkungan

Baru-baru ini saya berkesempatan menghadiri seminar sehari yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Pemkab Gowa Provinsi Sulawesi Selatan yang mengangkat Tema Peran Kesultanan Dalam Pengolahan Lingkungan. Pertama kali membaca undangan panitia saya sangat salut dan bangga atas kreatifitasnya. Dalam hal ini, kejelian Kantor Kementerian Lingkungan Hidup patut diacungi jempol. Mengapa saya katakan demikian ?

Pertama-tama tentu adalah primordialisme masyarakat yang masih sangat kental. Pada tingkat lapisan masyarakat yang paling bawah, sultan/raja atau bangsawan masih memiliki otoritas yang tinggi dalam pengambilan keputusan. Bahkan dalam masyarakat itu sendiri sudah berlaku semacam kontrak tertulis maupun tak tertulis antara raja dan rakyatnya. Traktat ini dipegan teguh oleh masyarakat setempat. Bahkan berdasarkan adat istiadat daerah setempat, pelanggaran atau pembangkangan terhadap traktat ini bisa berakibat buruk (kematian) bagi pelanggarnya. Dan yang lebih menariknya lagi, terkadang dalam isi traktat atau perjanjian tersebut dijumpai banyak aturan-aturan yang pro lingkungan hidup.

Kewenangan raja dan perangkat-perangkat kerajaan inilah yang bila dimanfaatkan semaksimal mungkin bisa menjadi pelopor dalam usaha penyelamatan lingkungan di daerah masing-masing. Efektifitasnya pun tidak diragukan lagi.

Disinilah dituntut kejelian dari lembaga kementerian lingkungan hidup maupun instansi yang berkompeten dalam memanfaatkan keberadaan raja-raja lokal yang nota bene adalah aset budaya nasional kita. Komitmen-komitmen pro lingkungan harus terus dibangun dengan memberikan penyadaran kepada masyarakat luas arti dan kegunaan menjaga kesimbangan ekosistem kita. Sinergitas antar pemerintah daerah setempat juga  harus tetap dijaga dan bahkan dalam pengimplementasiannya sudah dipandang perlu dibuatkan semacam konsep payung hukum (perda) pro lingkungan yang tetap bermuatan lokal tapi mampu menjadi motivator secara nasional.

Berikutnya, sebagai publik figur lokal seyogyanya raja/sultan atau pewaris kerajaan juga diposisikan sebagai publik relation. Membuka akses yang luas dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah setempat tentu sangat diharapkan. Sebagaimana kita ketahui, para raja/sultan maupun pewaris kerajaan setempat sebahagian besarnya mempunyai kendala-kendala utamanya kendala finansial maupun sumber daya . Ini disebabkan karena kekuasaan maupun kewenangan mereka dalam pengelolahan aset mereka  beralih ke pemerintah setempat. Usaha pelesetarian aset mereka pun otomatis bersandar pada good will pemerintah setempat.

Terakhir, mencermati hal tersebut maka perlu diberi sentuhan (regulasi) guna mengembalikan fungsi dan peranan kerajaan tanpa harus keluar dari bingkai NKRI. Salah satunya adalah pemberian otonomi terbatas dan pelibatan aktif dan kontinui dari perangkat-perangkat kerajaan dalam event-event resmi pemerintahan. Dengan terciptanya kondisi seperti ini maka peran dan keikutsertaan para raja/sultan dan pewarisnya tidak hanya sebagi simbol seremonial belaka tetapi lebih dari itu mampu menjadi ikon-ikon lingkungan yang membumi.